Siapa sih gw?
Blog Teman
Situs2 Yang Wajib Dikunjungi
Tag
ShoutOuts



Kontak
free counters

Powered by TripAdvisor
Memori



Vietnam and Thailand - kegilaan akhir tahun
Thursday, October 03, 2013 / 11:14 AM


Awal cerita...

Every journey began with a single step...,

Semua bermula pada bulan Juli 2011, seorang sahabat di masa kerja di Aceh dulu menghubungi saya dan menceritakan bahwa ia ingin mencoba backpackeran ke LN, tapi karena dia belum pernah ke LN sama sekali, dia mengajak saya yang menurutnya 'ahli' dalam dunia backpackeran - padahal saya nggak ahli2 banget sih...

Dia mengajak saya ke Thailand pada bulan Desember, dan karena saya tahu pada bulan2 itu adalah peak season dan semua turis bule yang menghindari musim dingin di negaranya akan tumpah ruah ke Thailand karena mereka anggap negara tropis ini sangat murah untuk ditinggali selama musim liburan, saya ogah dan mengajaknya ke Vietnam saja yang menurut saya less-touristic.
Tapi entah apa yang membuat teman saya ini nge-fans banget dengan Thailand sehingga bujukan saya tidak mempan; saya yang merasa rugi juga kalau ke LN cuma mengunjungi 1 negara saja (soalnya bayar pajak airport di Soetta kan Rp 150,000/orang) akhirnya mengalah dan mengajak dia ke Vietnam dulu baru ke  Thailand. Kami deal dan saya segera memesan tiket pesawat untuk tanggal 22 Desember 2011, dimana saya perkirakan sudah bisa mengambil cuti dari kantor saya. Teman saya berjanji akan membayar via cicilan karena dia tidak punya CC.


Perjalanan Kami Dimulai....
Hari 1
Desember pun tiba, libur sudah dimulai, saya sudah ada di Jakarta pada tanggal 21 Desember. Wati menyusul saya dan menginap di rumah semalam sebelum kami menuju airport pada jam 1 siang. Pesawat kami dijadwalkan berangkat jam  16.35 WIB menuju Ho Chi Minh, harga tiket Rp 879.000,-/orang.
Di pesawat, saya duduk di sebelah pria muda Vietnam yang ramah, namanya Mike Hung. Dia sedang bekerja di Jakarta dengan sebuah perusahaan pertambangan sebagai seorang engineer, Mike pulang untuk menjenguk anak dan istrinya setiap 6 bulan sekali. Kami berkenalan dan dia banyak mengajari saya tentang Vietnam dan apa saja budayanya, termasuk Ao Dai (yang dibaca Ao Zai) - baju khas perempuan Vietnam yang mirip dengan cheongsam, termasuk memberikan nama2 taxi yang cukup bisa dipercaya di HCMC.

Sesampai di bandara, kami tidak mengalami kesulitan di imigrasi. Mike mengantar kami sampai di tempat seorang anggota CS asal Rumania bernama Sorel akan menjemput kami dan membawa kami ke apartemennya. Kami mengucapkan salam perpisahan kepada Mike dan kerabatnya yang menjemputnya setelah bertukaran alamat skype.
Sorel baru berumur 21 tahun namun sudah menjadi manager IT di sebuah perusahaan di Vietnam, luar biasa ya memang anak2 muda jaman sekarang. Dia sendiri baru 3 bulan ada di Vietnam. Dengan taxi kami menuju apartemennya dan makan di restoran yang ada di sebelah apartemennya. Selesai makan, kami diantar ke apartemen temannya Luke karena ternyata malam itu apartemen Sorel sudah ditinggali seorang cowok CS asal Perancis. Sorel berjanji akan menjemput kami untuk menginap di rumahnya esok begitu si cowok Perancis pergi. Sambil menunggu Luke pulang dari kegiatan main bolanya, kami jalan2 di sekitar kafe dimana kami janji ketemu dengan Luke.
Akhirnya Luke menjemput kami dan membonceng Wati, sementara saya dibonceng Sorel. Jalanan Saigon yang padat dengan motor dan semuanya hobi ngebut membuat saya agak deg2an dibonceng. Sesampai di apartemen Luke, kami dipinjamkan kamar temannya yang sedang pulang kampung ke Inggris. Luke sendiri orang Inggris yang mengajar sebagai guru English di sekolah di HCMC. Setelah mandi, kami ngobrol2 dengan Luke dan Sorel sampai jam 12 dan pamit untuk tidur duluan.


Hari 2
Bangun sekitar pukul 6 pagi dan segera mandi untuk menuju Pham Ngu Lao, kawasan backpacker di HCMC. Disini kami akan menaiki bus yang menuju Mui Ne, kawasan pesisir yang cukup dekat dari HCMC untuk melihat gurun pasir dan pesisir pantai disana. Kami mencari ojek dan dengan bantuan seorang Ibu yang sedang menggonceng anaknya untuk ke sekolah, dibantu menawar sebuah ojek untuk ke Pham Ngu Lao. Untung saja si Ibu bisa berbahasa Inggris. Sampai di Pham Ngu Lao jam 7, kami memesan tiket seharga XXX Dong di Singh Tour. Sambil menunggu bis wisata kami datang, kami ke resto di sebelahnya dan saya memesan bubur ayam jahe untuk mengisi perut. Belum sempat menghabiskan makanan, bus sudah datang dan kami harus bergegas naik menuju Mui Ne.
Sepanjang perjalanan, Vietnam sangat menarik karena jalan2nya lebar2 dan nyaris tidak ada kemacetan seperti di Jakarta walau kendaraan, terutama motor sangat banyak. Kami melintasi highway menuju luar kota... Setelah 2 jam lebih, kami berhenti di sebuah pom bensin dimana para penumpang bisa istirahat dan ke toilet.

Perjalanan dilanjutkan, sekitar jam setengah 1 siang kami memasuki kota Mui Ne dengan resort2 cantik dan ekslusif di pinggir pantainya. Kami turun sembarang dan memasuki sebuah kantor tur operator untuk memesan 1 day tour. Setelah tawar menawar, akhirnya disepakati kami membayar USD 21/orang untuk tour ini yang meliputi 4 objek wisata. Semula harganya USD 25/orang.
Setelah membayar tur, kami minta ijin untuk makan siang dulu. Pilihan jatuh pada resto Banh Mi yang menjual aneka sandwich. Saya memesan paket sandwich Tuna dan sekaleng coke. Seharga 40,000 Dong.
Jam 1.30 kami sudah siap di depan kantor tour travelnya dan sebuah jeep tua menunggu kami untuk memulai tur. Tidak sampai 20 menit perjalanan, objek wisata 1 kami temui. Namanya Fairy Stream. Dari jalan utama, kami berjalan kaki kurleb 3 menit dan sampai di awal mula kali alias sungai kecil yang ternyata sangat cetek untuk dijalani. Kami pikir lumpurnya pasti jorok karena warna air kali kecoklatan, ternyata airnya cuma semata kaki walau di beberapa bagian bisa selutut juga sih. Dan dasar sungai yang terdiri dari pasir kasar berwarna coklat tidak membuat kaki keperosok saat menapaki aliran sungai ini....
Di sini kami bertemu 2 anak kecil yang berlagak menjadi guide kami. Dari awal saya sudah tahu keberadaan anak2 ini, karena saya sudah searching. Bahkan di beberapa situs yang ditulis orang bule kehadiran mereka dianggap tout alias pengganggu karena suka ngompas turis2 dan berlagak jadi guide padahal menurutnya ga dibutuhin banget karena kita sendiri bisa aman kok ngejalanin sungai itu tanpa guide.

Tapi, ya saya pikir, ngga ada salahnya kita ramah sama anak2 ini. Kami berkenalan sambil berjalan yang satu namanya Nam dan yang satu Hung. Nam dan Hung kira2 berumur 10 tahun. Mereka sesekali mengatakan "This way please" untuk menunjukkan arah dimana kami sebaiknya menapaki sungai itu dimana airnya tidak terlalu dalam.

Mula-mula kami pikir pemandangan Fairy Stream ini biasa2 saja, ga menarik bahkan kaya kali2 yang ada di Indonesia. Tapi perlahan2 pemandangan di sisi kiri dan kanan berubah. Banyak batu2 yang kelihatan berkilat kena cahaya di sekitarnya... bahkan strukturnya semakin unik karena mirip stalaktit sehingga tidak heran disebut dengan Sungai Peri karena suasananya yang mirip dengan negeri peri. Coba saya pake kostum yang pas dan ada cowok keren mirip Legolas dari trilogi LOTR di sebelah saya, pasti kita sukses menghadirkan suasana negeri peri di foto2...hehehehe

dinding sepanjang fairy stream (Suoi Tien), mirip kisah negeri peri

org Indonesia sama Viet sama, suka buat grafiti mengganggu alam :(

Tetapi, kehadiran sapi2 yang cari  makan di hilir sungai membuat pemandangan sedikit terganggu...Karena Nam dan Hung berkata di ujung sungai tidak ada apa2 dan waktu kami juga sudah terbatas, kami memutuskan tidak sampai ke ujung hilir sungai...Mereka mulai meminta 'upah', karenanya, kami memberikan 30.000 Dong untuk dibagi berdua (20.000 Dong merupakan tarif normal menurut info turis lainnya). Sehabis diberi uang, mereka mengeluh dan meminta tambahan. Tapi kami kekeuh ngga mau kasih karena sudah memberi tips lebih 10.000 Dong. Mereka mengikuti kami kembali sampai ke awal track sambil terus menerus meminta uang. Kami cuek aja dan akhirnya mereka cape sendiri dan meninggalkan kami begitu melihat ada turis2 lain yang datang menyusuri sungai. Pelajaran pertama dengan tout ala Vietnam...

Kami berjalan kembali ke jeep dan menuju objek wisata ke 2 : Desa Nelayan Mui Ne
seorang nelayan sedang asik merajut pukatnya di atas perahu
Pantainya sendiri tidak begitu menarik, karena terkesan kotor (ya iyalah pantai nelayan gitu) tapi perahu2nya yang berbentuk mangkok (bulet) dan terbuat dari anyaman rotan menarik perhatian kami, sayang kami tidak boleh menaikinya padahal ingin coba mendayung di laut dengan perahu unik ini.

Sehabis foto2, kami menaiki jeep kembali untuk menuju White sand dune (padang pasir putih) yang letaknya cukup jauh dari sini. Kami melewati semacam padang pasir di dekat kota yang ternyata merupakan Red Sand Dune (padang pasir merah), nanti kami akan kembali ke sini setelah dari White Sand Dune.
Perjalanan ke White Sand Dune ini cukup lama, sekitar 1 jam. Rambut kami udah berkibar2 kena angin karena jeepnya setengah terbuka...
Sampai di sana, kami mermarkir mobil dan berjalan kaki melewati hutan pinus kecil menuju padang pasirnya. Lucunya, kami papasan dengan sepasang calon pengantin yang tampaknya habis foto prewed disana lengkap dengan atribut gaun putih dan jasnya....ternyata ini salah satu tempat foto prewed favorit pasangan2 di Vietnam...
Sedikit berjalan kami menemukan tempat penyewaan ATV seharga USD 20 /15 menit...mahal, ga cocok untuk kantong kami yang cekak :P

Dan pemandangan padang pasir yang di beberapa bagian ditumbuhi semak2 menghampar indah di hadapan kami.... Kami memutuskan berjalan kaki sampai ujung bukit pasir yang bisa kami jelajahi dan mendapatkan pemandangan indah dari Padang Pasir Putih ini... Saya jadi teringat Gurun Pasir Thar di India yang saya jelajahi tahun 2010 silam...

angin meniup pasir di Doi Cat
Di tempat ini disewakan juga selembar plastik kaku yang dilengkapi seutas tali tambang plastik yang bisa digunakan untuk meluncur ala kereta salju dari bukit-bukit pasir menuju lembah2 padang pasir, waktu itu saya melihat seorang turis cowok bule nekad meluncur dari puncak bukit pasir ke lembah yang ada semacam danau di dasarnya....tertarik nyoba sih, karena toh kalokebablasan paling2 nyebur ke danau tapi sempat kepikiran gimana kalau danau itu ada buayanya? Hiiiyyyy....langsung disantap buaya dong?
Karena pergi tanpa pemandu jadi kami tidak bisa memastikan apa benar danau kecil di lembah gurun pasir ini ada buayanya atau tidak....
Yah, sudah jauh2 kesini, tidak ada salahnya kami foto2 sejenak, saya pun mulai berpose ala Anggun di video klipnya Snow on Sahara...hehehe (sayang foto2 yang tersisa dan masih bisa diselamatkan cuma sedikit, sementara foto2 saya dari kamera DSLR rusak semua karena virus - kejadiannya nanti saya gambarkan).

Setelah puas bermain pasir (saya juga mengambil pasirnya sebagai oleh2 dengan ditaruh di botol), kami melanjutkan perjalanan dengan jeep menuju ke Gurun Pasir Merah (Red Sand Dunes). Perjalanan kembali menuju jalan pesisir pantai yang kami lewati tadi menuju Gurun Pasir yang letaknya tidak jauh dari pinggir kota Mui Ne. Gurun pasir ini agak ramai, mungkin juga karena luasnya yang tidak selebar Gurun Pasir Putih. Baru beberapa meter berjalan kami berpapasan dengan segerombolan turis asli Indonesia yang berbicara bahasa Indonesia dengan logat Surabaya....oalah, jauh2 ke gurun pasir di Vietnam ketemunya wong Suroboyo juga....hihihi

Saya dan Wati terus berfoto2 dan bergaya di gurun pasir ini, pemandangan cantik dari matahari yang hampir terbenam membuat suasana sangat ramai dengan orang2 yang berniat berfoto. Ditambah dengan begitu banyak muda mudi Vietnam yang sedang asik bergerombol (mungkin sedang study tour), jadi suasananya sangat turistik. Semburat senja kemerahan menutup perjalanan kami sepanjang pesisir pantai menuju Mui Ne. Karena sudah gelap, kami tidak bisa menuju air terjun yang katanya termasuk dalam paket.
Akhirnya, kami minta diturunkan di sepanjang jalan utama yang banyak resto-restonya. Bosan makan Banh Mi terus, kami memutuskan makan seafood di Lam Tong, karena tempatnya kelihatan murah (seperti foodcourt begitu).
Begitu masuk, ternyata setengah dari tempatnya sudah terisi, kami beruntung mendapatkan meja untuk 2 orang di dekat pantai. Pas di depan tangga yang menuju ke laut. Setelah menunggu 5 menit (pelayanannya agak lama memang, karena tempatnya luas), kami mendapatkan buku menu dan memesan. Saya pesan ikan bakar dan Wati juga. Malam itu ombaknya sangat besar sehingga beberapa kali muncrat ke bangku2 yang ada di pinggir laut, banyak tamu mengungsi karena mejanya disembur air laut. Untung bagi kami, walau meja kami ada di pinggir tangga yang menuju laut, kami tidak terciprat air laut sedikitpun. Begitu ikan bakar ala Lam Tong ini dihidangkan, tampilannya yang kurang menarik dan porsinya yang kecil membuat kami agak kecewa....dengan harganya (yang bagi kurs Rupiah) agak mahal...
Karena anginnya cukup kencang dan suasana yang ramai serta kursi plastik yang disediakan tidak begitu nyaman, kami memutuskan menunggu bis kami yang akan berangkat jam 1.30 pagi nanti, di tempat lain. Kami berjalan menyusuri jalan utama Mui Ne mencari kegiatan menarik untuk mengisi waktu karena saat itu baru jam 9 malam. Sambil jalan numpang foto2 di depan sebuah resort di MuiNe...


Ternyata harga-harga bar dan restaurant disini cukup mahal, begitu juga dengan spa-nya. Dan karena semua spa tutup jam 9.30 atau jam 10 malam, kami tidak bisa melemaskan otot2 yang lelah dengan pijatan di spa. Akhirnya, kami mendapatkan alternatif kegiatan yang cukup oke lah yaitu internetan di warnet. Nah disinilah tragedi besar (bagi saya) itu terjadi, saat saya memindahkan foto2 dari SD card ke Flash disc dan flash disc itu dipinjam oleh Wati untuk diupload foto2nya. Ternyata komputer Wati itu bervirus, sehingga foto2 saya tidak terdeteksi ada di dalam flash disc. Saya coba menginstall anti virus Panda dari web ke komputer itu, namun foto2 saya seakan di-hide oleh virus kampungan itu (virusnya pakai bahasa Vietnam!). Saya yang sudah berulang2 coba membersihkan virus itu dari flash disc ternyata tidak bisa, dan saya harus merelakan foto2 saya - yang dari foto2 di Alor sebelum saya ke Jakarta, trip pertama di Vietnam sampai hari ini saat kami ke padang pasir.... lenyap ditelan virus.....aarrrggghhh rasanya mau nangis saja, bagi saya lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan foto2 berharga itu....

Karena capek, kesal dan uang menipis; kami memutuskan tidur di pool bus dimana kami akan dijemput nanti malam. Lumayan ternyata ada wifi gratis dan colokan, jd saya bisa mencharge HP yg lowbatt. Sekitar jam 1 kami dibangunkan oleh staff pool bus dan dinaikkan ke bus menuju HCMC. Bus nya mempunya kursi bertingkat yg bisa direcline (mirip sleeper bus di India walau kurang lega - mungkin karena orang Asia dipikir lebih imut2?), dilengkapi selimut dan AC. Perjalanan memakan waktu 6 jam sehingga kami sampai di HCMC jam 6 pagi.
AC Sleeper bus di Vietnam


Hari tiga
Karena waktu yang mepet, kami memutuskan memesan tour Mekong Delta langsung di dekat kami diturunkan. Karena Singh Tour agak mahal, maka kami memesan tour di tetangganya yang cukup murah. Tapi saya lupa nama tournya, tournya seharga 21 USD.
Kami langsung naik ojek (30,000 Dong) ke tempat Seth untuk mandi dan mengambil barang2 kami. Kami sempat mengalami insiden karena apartemen Seth terkunci dari dalam ketika kami mau keluar. Syukurnya kami bisa keluar dan kemudian mendapatkan ojek dengan pertolongan seorang ibu yang bisa berbicara sedikit bahasa Viet. Terpaksa deh kita BTO (Bonceng Tiga Orang) dengan harga per orang 30,000 Dong. Rese banget karena tukang ojeknya cuma ada 1 dan kita takut telat.
Sampai di sana,  kami mendrop carrier kami ke belakang meja resepsionis dan sempat ngobrol2 dengan staff tour yang tahu sedikit tentang Indonesia. 15 menit kemudian kami langsung naik minibus yang menjemput kami. Pemandu wisata kami memperkenalkan diri sebagai Nam - nama umum untuk anak laki2 di Vietnam.

Perhentian pertama - Tempat kerajinan yang semua pengrajin/artisanya adalah orang2 difabel/cacat.
seniman difabel yg membuat lukisan dari pecahan kulit telur

Disini kami menyaksikan beragam mosaik, lukisan, pahatan, dan barang2 indah lainnya yang dikerjakan langsung oleh penyandang cacat/difabel. Harga2 yang dipatok cukup mahal, namun karena ini untuk tujuan sosial jadi kami sadar ini adalah untuk menyokong hidup para penyandang cacat sehingga tidak hidup dari meminta-minta.
Kami melanjutkan perjalanan kurang lebih 2 jam untuk menuju daerah Mekong Delta.


Perhentian kedua - Pelabuhan Ferry di Mekong Delta.
Pelabuhannya cukup apik dan bersih, banyak penjual suvenir dan karena kami lupa membawa topi, akhirnya kami membeli topi seharga 30,000 Dong/buah. Topi pandan saya masih berbau harum karena dibuat dari pandan segar. Kami naik ferry yang apik dan dilengkapi kursi2. Nam, terus mengoceh melalui pengeras suara yang ada di kapal tentang pulau2 yang ada di sekitar Mekong Delta yang kami lalui. Tidak sampai 30  menit kami menyusuri sungai, kami pun berhenti di pulau pertama.

Disini kami dijelaskan mengenai budidaya lebah madu dan digiring menuju gazebo yang sudah dilengkapi dengan meja-meja dan bangku-bangku. Disini kami disuguhi teh dengan campuran serbuk sari dan bee polen oleh seorang pria dan disuguhi manisan-manisan khas Vietnam yang rasanya super duper manis.Ini merupakan bagian dalam tur, tetapi ini merupakan promosi produk terselubung jg karena pengunjung juga ditawari membeli bee polen, madu, aneka manisan dan serbuk sari sebagai oleh2. Saya tidak membeli apa-apa karena harganya cukup mahal juga....


to be continued









Ongkos dalam negri :
Jakarta
Damri = IDR 40,000 (PP)

Airport tax = IDR 150,000,-

Bali
Taxi dari Ngurah Rai ke Canggu : IDR 100,000,-
Taxi dari Seminyak - Ngurah Rai = IDR 55,000,-
Sewa motor 3 hr di Bali @ Rp 40,000,-= IDR 120,000
Airport tax = IDR 30,000




Tiket pesawat by AirAsia: 
JKT- SGN = Rp 879.000,-
SGN - BKK = USD 191.80 (berdua) @USD 91
HKT - DPS = 3461 THB


Ongkos luar negeri :
Tiket bus HCMC - Muine :
Tiket bus Muine - HCMC : 80,000 Dong

Makan :
Banh Mi (rata-rata): 10000 Dong
Air mineral (rata-rata): 5000 Dong

 


Labels: , , , , , , , , , , , , ,


Selayar and Takabonerate - the 3rd largest atoll in the world
Saturday, September 28, 2013 / 12:57 PM

Powered by TripAdvisor

Labels: , , , , , , , , ,


Dili dalam 3 hari....
Wednesday, November 23, 2011 / 2:12 PM


Akhir September 2011, tepat sebelum tahun fiskal di kantor saya berganti, saya harus berobat ke Kupang karena mengalami kram pada rahang dan sakit sesekali pada bagian punggung. Jadi berbekal surat rujukan dari dokter di Kalabahi, saya menuju Kupang. Setelah 3 hari mengantri dan berobat di RS W.Z. Johannes Kupang (maklum sistem antrian dan pelayanan di RS pemerintah agak-agak luar biasa tidak efisien dan lama), saya mendapat anjuran dari dokter poliklinik syaraf untuk beristirahat 3 hari dan mengkonsumsi obat tertentu. Berhubung obat yang harus saya minum itu stoknya tidak tersedia di Kupang, dan masih harus memesannya di apotik satu-satunya di Kupang yang menyediakan obat tsb, saya berpikir bagaimana caranya menghabiskan waktu selama 3 hari menunggu obat saya sampai datang.

Tanpa sengaja saya bertemu rombongan teman2 WVI Sumba Barat di KFC Flobamora Mall dimana mereka mengajak saya untuk menjelajahi Dili dalam 3 hari, saya terbius dan mengiyakan. Untungnya saya bawa passport dan kamera, kalau tidak, saya pasti tidak mau. Maklum, setelah saya mengSMS seorang teman di Darwin yang dahulu pernah bekerja di TimLes, saya terperangah karena dia menyebutkan harga minimal USD 20/malam untuk losmen yang sangat jelek. Waduh, bisa bangkrut saya... maklum kebiasaan jalan2 ala backpacker yang kebiasaan pake jasa menginap di member couchsurfing. Akhirnya saya coba dulu mencari tumpangan disana via couchsurfing.
Hasil searching saya di member couchsurfer TimLes membuahkan hasil, seorang lelaki Portugis bersedia menampung saya selama 2 malam di rumahnya. Rencananya, saya akan menginap di rumah teman dari teman2 Sumba Barat disana untuk malam ketiga. Jadi, saya akan memulai petualangan saya sendiri...

 Hari 1
Akhirnya, saya nekad pergi duluan kamis pagi karena rombongan Sumba Barat baru akan pergi Kamis malam ke Atambua dan lanjut ke Dili Jumat pagi. Saya memesan bangku di Timor Travel (telp 0380 - ) seharga Rp 185.000,- dan dijemput jam 5.30 di rumah seorang teman dimana saya nebeng di Kuanino.Saya mendapat bangku no 1 di samping supir. Asik nih, bisa foto2 dengan leluasa:-D
Jam 7 kurang kami tiba di pool Timor Travel untuk membayar tiket dan mendapat kotak snack. Perjalanan Kupang - Atambua memakan waktu sekitar 8 jam karena berhenti di kecamatan Niki-niki untuk makan siang, dan berhenti di pool Timor Travel di Soe dan Atambua. 


Perjalanan dimulai, saya menegak sebutir Antimo karena sudah lama tidak menempuh perjalanan Kupang - Atambua dengan jalannya yang terkenal "the long and winding roads" dan bisa membuat orang mabok/muntah. Alhasil saya terlelap nyaris di sepanjang perjalanan, dan baru terbangun pas kami berhenti di Niki-niki, kota kecamatan kecil antara Soe dan Kefamenanu untuk makan di resto Padang. Saya yang kebetulan memesan KFC delivery malam sebelumnya memesan teh hangat dan memakan bekal saya.

Saya kembali terbangun di Kefa dan mengingat kembali setiap memoar di tempat saya pernah tinggal selama 1 tahun ini (Oct 2005-2006). Ah, jadi kangen teman2 sekerja di masa lalu. Perjalanan lanjut dan kami berhenti di kantor Timor Travel Atambua dimana ada penukaran kurs dollar ke rupiah dsb bagi penumpang yang belum punya USD (ratenya cukup bagus dibanding jika menukar di bank Mandiri di perbatasan Motaain nanti). Kebetulan masih ada beberapa lembar USD sisa perjalanan backpacker saya ke India tahun lalu yang belum saya tukar, jadi saya tidak jadi menukar uang. Disini, saya bertemu dengan teman kerja waktu di Kefa dulu, Mio. Mio memberitahu saya tehnik2 untuk mengirit uang di perbatasan nanti : isi sendiri form visa (bisa irit Rp 5rb - untuk bayar calo), angkut barang sendiri (kalo ga banyak2 sih gpp, kuli kena Rp 5rb dan ada kuli anak2! - eksploitasi anak nih!) dan ambil 2 form visa pas di imigrasi TimLes (untuk pergi dan pulang sehingga ga repot mengisi form pas pulang dari sana).
Mio juga memberi nama beserta no telepon seorang teman dimana ia sering menginap kalau dia bepergian ke Timor Leste, namanya Abetuu. Kata Mio saya bisa menginap disana seandainya tidak ada orang yang bersedia menampung saya disana. Asik!

Saya melanjutkan perjalanan karena efek obat tidur antimo sudah berkurang, saya mencoba mengobrol dengan seorang nona yang ternyata asli Timor Leste bernama Ade yang duduk antara saya dan om supir. Saya banyak bertanya2 tentang spot wisata disana. Sesampai di perbatasan MotaAin, kami turun dan menyodorkan passport ke kantor polisi disana untuk diperiksa. Baru kami lanjut ke gerbang perbatasan dimana ada proses imigrasi yang mana untuk mengisi kartu imigrasi saja kita disodori jasa calo spesialis mengisi seharga Rp 5rb/kartu. Untung saya sudah diberitahu Mio tentang ini sebelumnya sehingga saya mengambil dan mengisi kartu sendiri dan mendapatkan passport saya dicap tanpa harus membayar 5rb.


gerbang selamat jalan

Kami lalu berjalan kira2 50 meter melewati jembatan perbatasan untuk berganti mobil dengan mobil travel berpelat Timor Leste. Sekitar 100 meteran kami masuk ke penjagaan tentara TimLes, paspor kembali diperiksa, kali ini dengan tentara TimLes yang logat bicaranya nyaris membuat saya terbahak-bahak. Maklum saya teringat lelucon tentang logat tentara TimLes waktu saya bekerja di perbatasan Betun - Timor Leste beberapa tahun silam. Untung saya tidak tebahak-bahak ketika si tentara menanyakan asal usul saya yang orang Batak. Saya orang kedua terakhir yang ditanya2 (padahal org Indonesia lainnya tidak ditanya2, kebanyakan orang Jawa sih), yg terakhir ditanya seorang lelaki asal Taiwan yang dengan susah payah mencoba membenarkan si tentara tentang cara penyebutan namanya. Aya2 wae...

Perjalanan lanjut, kami memasuki daerah imigrasi Timor Leste, disini antriannya ga teratur, kita harus meminta form visa di loket dari petugas karena kadang form yg disediakan di meja udah dimonopoli sama calo sehingga mau ngga mau kita gunakan jasa mereka untuk isi form visa. Tapi harus bayar 5rb. Saya dengan tegas meminta form dari petugas dan mengisinya sambil mengantri, antrian saling serobot (seperti biasa). Saya sudah menyiapkan USD 30 untuk biaya visa. Disana juga banyak calo2 yang menjual USD yang kondisinya lecek2, jikalau ada turis yang lupa membawa USD.
mejeng di depan kantor imigrasi Timor Leste, difoto sama fotografer dari Taiwan, ihiy!
 Memasuki daerah Timor Leste, pemandangan kering kerontang dan gersang terhampar. Mirip dengan daerah Kefa dan Atambua. Tampaknya kehidupan masyarakat TimLes tidak banyak berubah ketika belum merdeka dan setelah merdeka, rumah2 beratap rumbia dan berdinding bebak (dahan pohon lontar) terlihat di kiri dan kanan jalan. Jalanannya rusak di beberapa bagian,  tapi agak mulus sebagian besar. Tetapi menjelang 1,5 jam perjalanan darat, pemandangan pesisir pantai yang cantik mulai terlihat.
Sekitar jam 5 saya memasuki jembatan Komoro di pinggir kota Dili, Joao - si lelaki Portugis tempat saya menginap kelak- mengSMS saya karena saya terlambat bertemu dia di Hotel Timor. Ternyata waktu di Timor Leste berbeda 1 jam lebih cepat dengan waktu di Atambua. Padahal masih satu daratan, aneh... apa nggak sudi waktunya sama dengan Indonesia ya?

Di perjalanan saya bertanya2 ke si supir yang masih bisa bahasa Indonesia (penduduk umur 10thn ke atas biasanya masih bisa berbahasa Indonesia dengan lancar). Dia menunjukkan rumah sederhana milik  "Raul-nya Krisdayanti" sebelum menikah dengan Ata Alkatiri yang berlokasi di Kampung Alor (yup, Alor man!) - pemukiman yg paling banyak orang Indonesia - sambil mengantar penumpang-penumpang yang lain. Dalam bayangan saya, Hotel Timor yang saya tuju untuk bertemu dengan Joao bentuknya seperti hotel melati Timor Hotel yg ada di Atambua, ternyata....ketika sampai di hotel Timor, saya terperangah karena hotel ini hotel paling megah dan mewah di Timor Leste. Saya masuk dengan jeans lusuh, kaos gombrong dan sendal jepit plus ransel ke hotel mentereng langsung ke resepsionisnya untuk menanyakan letak bar, tempat janjian dengan Joao. Si resepsionis melihat tampang backpacker saya dengan agak terkejut (maklum tamu2 lainnya kelihatan modis, trendy dan wangi) tapi akhirnya ia menjawab dengan sopan karena saya menggunakan bahasa Inggris. Saya mampir di toilet sebentar untuk cuci muka dan menyisir rambut (sudah 12 jam lebih terpapar angin jalanan), lalu berjalan dengan tenang ke lobby karena saya melihat bar nya ramai dan sudah pasti minumannya harganya selangit. Tidak ramah untuk kantong cekak saya...


Ketika duduk, saya menyadari bahwa sisa pulsa saya yg sebelumnya Rp 90rb-an tersisa beberapa ratus rupiah sehingga tidak mampu mengirim SMS ke Joao, maklum operator seluler disini - Timor Telecom - biaya SMSnya mahal abis Rp 8rb/SMS dan sejak di perbatasan Motaain saya sudah mulai mengSMS Joao berulang kali tentang posisi saya. Sekarang pulsa saya habis! Omak! Celingak celinguk untuk meminjam HP dari tamu yang ada di sana, mata saya terpaku pada sosok cowok yang sedang asyik memainkan iPhone-nya, dia duduk di dekat saya. Tanpa malu-malu, saya langsung menghampiri dia dan menanyakan apa saya bisa meminjam HPnya untuk mengSMS si Joao. Ternyata bisa, bahkan dia menyilahkan saya untuk memakai HPnya untuk menelepon si Joao. Asik! Obrigado! Joao ternyata masih ada meeting sama kliennya, jadi saya disuruh menunggu sampai jam 18.30 waktu setempat. Si cowok itu ternyata sedang menunggu pesanan cake dari restoran Hotel Timor. Dari tampangnya dan logatnya berasal dari salah satu negara di Afrika, saya tersenyum penuh terima kasih ketika dia lewat sambil menenteng cake besarnya.


Jam 18.30 pas Joao menjemput saya di lobby hotel, setelah berjabat tangan dan cipika cipiki (salam khas TimLes), saya mengikutinya ke mobilnya dan menuju rumahnya di dekat Dili International School, Pantai Kelapa - salah satu pemukiman elit di Dili. Rumahnya ternyata berada kompleks perumahan kecil dimana ada beberapa rumah yang dijaga seorang satpam disana. Rumah mungil Joao terdiri dari 1 kamar tidur, jadi saya disediakan sofa merah empuk yang bisa diubah menjadi tempat tidur plus seprei dan sarung bantal. Saya menaruh barang dan tak berapa lama seorang couchsurfer yang sekarang bekerja kepada Joao datang, namanya Seth, umurnya 21 thn tapi sudah keliling 60 negara di dunia! Kami segera diajak makan malam di sebuah bar Champ; resto di pinggir Pantai Kelapa. Tempatnya enak buat hangout, ada TV besar yg memutar siaran football dan meja bilyard. Karena Seth vegan, jadi kami memesan pizza vegetarian ukuran besar dan orange juice, Joao memesan bir. Sementara Seth memesan bir jahe yang ternyata ginger ale. Kami makan dan cerita2 sampai jam 10 malam lalu pulang ke rumah Joao. Kamar mandinya ternyata bersih dan enak, ada bathtub dgn air panas yay! Karena sudah terlalu capai, saya tidak jadi menonton koleksi DVD Joao yang banyak tersedia, padahal TV dengan seperangkat sound system ciamik ada di hadapan saya.

Hari 2
Bangun pagi, kuterus mandi, trus langsung membuat kopi. Joao baru bangun jam 9 pagi. Dia mendrop saya ke pusat kota untuk menuju kantornya. Saya berjalan2 dari pasar Colmera dan menuju Istana Presiden. Karena kelaparan, saya makan di warung Jawa yang di depan istana presiden (ada warung lho di depan istana), nasi ayam dengan kuah dan es teh USD 1,5. Lumayan murah.
Sehabis itu, saya naik taksi menuju Timor Telecom (USD 1) untuk membeli simcard di dealer resmi. Karena pulsa Simpati saya sudah habis. Ternyata TT sejajar dengan Istana Presiden, 'kehabisan' simcard baru. Mereka menyarankan saya ke TT di Colmera Plaza, aneh ya bisa2nya dealer resmi TT kehabisan simcard baru.... Sampai di TT Colmera Plaza (naik taxi USD 2 - ini overcharged ternyata!), mereka juga awalnya mengaku 'kehabisan' simcard. Saya mulai curiga, apa karena saya menunjukkan paspor Indonesia? Tetapi setelah saya 'mengemis' dan menunjukkan passport (untung jg tampang saya agak rapih, ga gembel2 banget). Si petugas memberikan saya simcard 'sisa' yang ada, dengan harga USD 3, saya membeli pulsa USD 2 sebagai tambahan. Sehabis dari sana, saya naik taksi (USD 1 dari Colmera) menuju rumah teman Mio yang bernama om Abetuu yang terletak di belakang Katedral. Sesampai disana, saya diajak menginap disana di kamar anak perempuannya. Tapi karena 2 orang teman saya dari Sumba Barat belum datang, saya belum bisa memastikan bisa/tidaknya.

Dari sana, saya menuju pasar Tais (Tais Market) untuk mencari suvenir khas TimLes, kali ini dengan naik bemo (angkot) dan membayar 20 centavos - mata uang kecil/koin TimLes. Naik bemo ini musiknya tidak sehingar bingar seperti bemo di daerah NTT yang full dengan sound system menggelegar. Penuh sesak sampai bergelantungan dengan anak2 SD dan SMP yang baru pulang sekolah. Saya sampai di Tais Market. Pasarnya sepi pengunjung, hanya ada 1-2 orang pengunjung yang berpapasan dengan saya di lorong2 pasar. Bahkan kios hanya dijaga 1-2 orang saja.
Aneka barang kerajinan yang dijual disini sebenarnya menarik, tapi harganya yang dalam USD terbilang cukup mahal untuk turis2 Asia. Kalau bagi para bule sih murah...


tenun ikat, aneka asesoris kuningan, anyaman dan ukiran khas TimLes

mama Maria Pareira yang tersenyum ramah di depan kios suvenirnya yg harganya terjangkau



Saya membeli sebuah tas selempang dari mama Maria dengan harga USD 5 dengan motif sulaman ala hippies sebelum melanjutkanke toko2 lain untuk membeli scarf mungil dari tenun ikat bertuliskan Timor Leste seharga USD 1 dan topi bendera Timor Leste seharga USD 2. Tempat sirih unik dengan motif warna-warni juga saya beli dengan harga USD 2. Kios-kios lain menawarkan beragam motif khas daerah-daerah di Timor Leste. Kebanyakan bermotif buaya, sampai muncul istilah crocodili yang mirip crocodile.
tenun ikat motif buaya (paling kiri)
 Ada juga yang menjual replika rumah adat Dili seharga USD 15
replika rumah adat khas Timor Leste, sekilas mirip rumah adat Sumba dan Alor

Aneka kerajinan yang dijual di Tais market memang menggiurkan, tapi berhubung perut sudah keroncongan dan rasa haus melanda, saya memutuskan melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya : Palacio Governo dimana saya berjanji akan bertemu Eny dan Desi.
Saya berjalan kaki dari Tais Market ke persimpangan Colmera dan berhenti di mini market untuk membeli minuman dingin. Sekotak susu coklat dan sebotol jus jeruk dengan harga total 2 USD . Yummy! Sambil ngemper menikmati minuman dingin, saya iseng memperhatikan marka jalan yang berbahasa Portugis dengan nama-nama tempat yang asing seperti Ponte Cape, Matabouro, saya berasa berada di sebuah negara di Amerika Latin sana....
marka jalan dalam bahasa Portugis (bahasa resmi Timor Leste)

Karena teriknya matahari, saya memutuskan naik angkot ke Palacio Governo. Saya turun dan membayar 10 centavos karena jaraknya dekat. Pemandangan pelabuhan nan cantik terhampar di depan saya...
yacht dan kapal nelayan sedang berlabuh di depan Palacio Governo, di kejauhan patung Christo Rei berdiri megah
pesisir pantai depan Palacio Governo, bersih dan tertata rapi

Sambil menunggu Eny dan Desi, saya duduk2 di bangku-bangku taman yang dilengkapi meja yang tersedia di pesisir ini. Teduhnya pohon dan tenangnya suasana walaupun berada di pinggir jalan besar, membuat saya agak mengantuk... Untuk mengusir kantuk, saya memutuskan untuk foto2 keindahan pesisir pantai Dili ini...
Tak berapa lama, SMS dari Eny masuk, mereka sudah ada di seberang pantai, di depan Palacio de Governo. Segera saya menghampiri Eny dan Desy yang ternyata didampingi seorang suster.

Kami memasuki gerbang melengkung yang tidak dijaga siapapun yang ada di depan Palacio de Governo alias Istana Gubernur jaman RDTL masih termasuk provinsi Timor Timur di Indonesia dulu, sekarang tempat tersebut sudah berubah menjadi kantor Perdana Menteri Timor Leste. Setelah bergantian saling memfoto, ternyata kehadiran kami menarik perhatian dua personel UN Police yang sedang duduk2 di mobilnya yang diparkir beberapa meter dari tempat kami berdiri. Mereka menyapa Suster dengan ramah dan salah seorang dari mereka bahkan menawarkan untuk memfoto kami berempat. Kami langsung senang dan berterima kasih. Ternyata mereka berasal dari Kenya dan Filipina... Kami berujar satu sama lain dalam bahasa Indonesia, "Untuk ngedapetin polisi aja mereka harus impor jauh2 dari Afrika sama Filipina yang mana gajinya besar...dan kerjanya duduk2 doang...Benar2 pemborosan.."




Puas berfoto2 di Palacio Governo, kami menyeberang dan menemukan tugu Lotte ini dengan lambang buaya di tengahnya. Kami mencegat taxi dari sini untuk menuju Aeria Branca dimana patung Yesus yang disebut Christo Rei terletak. Karena yang mencegat dan menawar taxi adalah Suster, jadi kami dapat harga sangat murah, yaitu 3 USD (biasanya hrgnya 5 USD). Memang di Dili sini, kehadiran suster dan pastor sangat dihormati oleh penduduk.


Kurang lebih 20 menit perjalanan melalui jalan2 pesisir pantai yang indah, kami sampai di Aeria Branca atau Pantai Pasir Putih yang sudah ditata baik sehingga agak mirip pantai Kuta di Bali. Kawasan itu masih agak sepi, hanya dipenuhi orang2 yang olahraga sore dan sedikit peziarah yang berniat mendaki jalan salib menuju patung Christo Rei.

Karena sudah agak sore, kami tidak bisa menjalani ritual Jalan Salib (Eny dan Desy + Suster penganut Katolik), jadi kami hanya foto2 saja setiap relief perhentian Jalan Salib. Berikut beberapa jepretannya...
























Setelah mendaki tangga yang di sisi kanannya terdapat relief perhentian Jalan Salib, kita sampai di lapangan dimana ada sebuah kapela kecil dan salib besar terpampang....

lapangan dimana ada kapela dan salib besar berdiri

kita harus mendaki ratusan anak tangga spt ini lagi sblm sampai ke patung Christo Rei
Sudah sekitar pukul 5 ketika kami sampai di bawah kaki patung Christo Rei. Saya dan teman2 langsung beraksi dengan kamera masing2. Pemandangan dari kaki patung Yesus yang merupakan salah satu patung Yesus terbesar di dunia setelah di Brazil sangat menakjubkan. Pemandangan sunset terlihat dengan jelas dan disini merupakan salah satu posisi yang baik untuk memfoto keindahan Aeria Branca dari dua sisi; sisi yang sudah tertata dan turistik, sementara sisi yang lain kesannya natural, sepi dan belum terjamah sama sekali oleh pembangunan... Menakjubkan!
 

bandingkan besarnya patung dengan tubuh saya di bawahnya...
 Hari sudah menjelang gelap ketika kami turun dari patung itu dan menuju kapela kecil yang ada di sebelah salib besar. Kami memutuskan meluangkan waktu untuk berdoa sejenak, mensyukuri keberadaan kami yang sehat dan diberkati karena bisa menjejakkan kaki di negeri asing ini...
Sehabis berdoa, kami menuruni ratusan anak tangga menuju pantai Aeria Branca yang saat itu sudah mulai dipenuhi pengunjung pasar malam yang diadakan seminggu sekali. Banyak sekali penjual suvenir khas Timor Leste dan kerajinan tangan lainnya yang membuka stand2 kecil / lapak disini. Mulai dari asesoris seperti anting2, tas dan dompet, perkap rumah tangga seperti tatakan gelas, tampah, besek (tempat sirih) dll. Ada juga penjual makanan yang meramaikan stand2 ini. Mulai dari makanan modern seperti burger, fried chicken dan spaghetti sampai ke makanan khas Timor Leste seperti sayur bunga pepaya, ayam/babi rica, dll, yang mana dimakan dengan ketupat, bukan nasi seperti di Indonesia. Jadi, kalau Anda seorang Muslim sebaiknya menanyakan secara langsung kepada si penjual makanan apa yang dijualnya. Saya akhirnya memesan sate ayam dan Desy serta Eny memesan babi.
saya dengan menu ketupat, sate ayam dan raba2 (urap khas Timor Leste) - semua seharga USD 3,5

penjual suvenir anyaman dengan berbagai macam dagangannya...lucu2 semua!

Sehabis makan, kami berjalan2 untuk berbelanja suvenir, maklum, kami ingin mencegah 'kalap berbelanja' karena belanja dengan perut belum terisi :D
Mulailah kami berpencar sesuai dengan minat masing2, langsung melihat2 tas selempang dari anyaman yang cukup mahal ternyata, USD 8 --hehehe ga rela juga keluar uang segini demi tas anyaman. Akhirnya karena semua barang2 nyaris di atas USD 2, saya memutuskan membeli anting2 dari anyaman berbentuk ayam2an dan rol panjang...lucu dan hanya USD 1/pasang...yay!
Kami menjelajahi semua stand yang berjualan malam itu, mulai dari kaos Crocodili - menyesal juga akhirnya kenapa kami tidak membeli kaos unik ini :( - yang seharga USD 15 (bahannya bagus dan konsep desainnya unik); sampai ke tempat pensil seharga USD 2 dan aneka selendang Timor Leste yang dihargai mulai dari USD 8/helai. Karena duit cekak, saya membeli 3 pasang anting2 masing2 seharga USD 1/pasang,  buah tempat pensil anyaman seharga USD 2 dan besek lucu tempat sirih seharga USD 1. Sebenarnya naksir sebuah tas selempang unik dan clutch lucu dari anyaman juga, tapi harganya ngga ku ku...USD 10 dan USD 8/buah... Puas berbelanja, kami akhirnya jalan2 sebentar untuk menikmati hiburan pasar malam itu, yakni pemutaran film khas layar tancap yang menayangkan film komedi buatan rakyat sendiri tapi dalam bahasa Betun (mayoritas etnis rakyat Timor Leste).
Karena tidak mengerti bahasanya, dengan cepat kami menjadi bosan dan akhirnya foto2 sejenak di air mancur indah di tengah kompleks taman...
 Karena takut taxi semakin mahal kalau kami pulang malam, kami memutuskan pulang dengan menawar taksi yang ada parkir disana, USD 6 dari sini ke Pantai Kelapa (dimana saya nginap di rumah teman CS) lalu lanjut sampai jembatan Komoro (dimana Desy dan Eny tinggal). Saya berpamitan dengan Eny karena besok pagi dia harus sudah pulang ke Indonesia, sementara saya dan Desy masih ada 1 hari lagi untuk tinggal disini :)

Hari 3
Esok paginya, saya dan Desy sepakat bertemu di Katedral Dili untuk foto2 sebentar kemudian mencari sarapan berdua.
patung malaikat2 di gerbang Dili Catedral
Setelah keliling2 ternyata tidak ada toko yang menjual sarapan ala Indonesia (nasi uduk, dsb) ya iyalah...Dili gituh... Kami memutuskan mengisi perut dengan roti di sebuah bakery rumahan, tapi karena harga roti2nya lumayan mahal juga, kami sepakat berbagi sepotong cake yang cukup terjangkau harganya...

sarapan cake seharga USD 2,5/potong di pagi hari - bagi 2 dengan Desy :D
Perjalanan kami lanjutkan ke daerah Colmera, lalu ke Tais Market (lagi) karena Desy ingin mencari kaos bergambar Crocodili yang tidak kami beli semalam. Sayang, di Tais market ini kami tidak mendapatkannya, karena yang dijual cuma kaos2 biasa bermotif bendera Timor Leste...bahannya juga kurang bagus. Namun, Desy akhirnya membeli sebuah kaos seharga USD 11 untuk oleh2 teman kantornya....

Sehabis jalan2 di Tais Market, kami sepakat menuju patung2 monumen yang ada dalam kota, salah satunya Patung Pembebasan Timor Timur yang merupakan prasasti karena Ramos Horta - PM Timor Leste mendapat hadiah Nobel perdamaian. 

Tugu Nobel Perdamaian Ramos Horta
Dari depan monumen ini, kami naik taksi menuju koperasi Cafe Timor Leste produsen kopi legendaris Timor Leste yang kabarnya menjual kopi organik terbaik di Timor Leste (USD 1), lokasinya di dekat Lecidere. Sesampai disana, saya membeli kopi di loket khusus koperasi tersebut yang menjual jenis Arabica dan Robusta. Arabica seharga USD 4,5 untuk ukuran 500 gram. Robusta seharga USD 6 untuk 500 gram.

Dari sana, kami berjalan kaki ke Patung Bunda Maria di Lecidere yang berjarak kira-kira 70 meter dari kantor koperasi.


















Setelah puas foto2 (tidak lama karena panas terik), kami memutuskan makan siang di One More Bar yang terletak di sebelah kiri patung Maria. Saya memesan menu yang paling murah, sandwich tuna seharga USD 4,5 (satu tangkap roti yang dibelah dua + salad sedikit) dan 1 kaleng coke (USD 3).


Lalu, kami menaiki bemo (angkot) menuju Lita Store yang konon menjual kaos khas Timor Leste, kami membayar 10 centavos. Ternyata sesampai disini, kami baru tahu ini adalah supermarket modern yang menjual aneka makanan dan minuman import dari berbagai negara. Pengunjungnya rata2 orang asing dan tidak ada menjual suvenir khas Timor Leste :(
Saya akhirnya hanya membeli 'bir' jahe alias ginger ale buatan Aussie yang sama sekali tidak mengandung alkohol, saya teringat si Seth teman Joao yang mengatakan betapa enaknya minuman ini. Tidak lupa saya membeli sunblock (USD 7,5) karena kelupaan membawanya kemarin...
Di seberang Lita Store, ada pasar tradisional yang tertata rapi dan menarik...harga2nya juga dalam USD lho...

tomat2 yang dijual ukurannya sebesar apel, luar biasa!

Dari sini, kami naik taksi menuju susteran dimana kami diundang makan siang oleh Suster. Sampai di susteran, kami disuguhi Sagiko dingin dan diajak makan siang bersama dengan lauk sup bakso dan sayur nangka...yummy...! Sehabis makan, tidak lupa jus sirsak yang kental dan dingin disuguhkan sebagai dessert... Pelayanan kasih para suster ini memang luar biasa bagi kami :)

Sehabis makan, kami berniat kembali ke Aeria Branca dimana Desy (masih) penasaran dengan kaos bergambar Crocodili semalam... Kami naik taxi dengan harga USD 3 (murah karena dicegat oleh suster sekali lagi) :)
 Melewati stadion nasional Dili


Sampai disana, kami foto2 sedikit di pantai sambil menunggu sore hari dimana kami harap ada pasar malam diadakan kembali...


Areia Branca -pantai berpasir putih


gerbangnya mirip di pantai Kuta, Bali
 Ternyata setelah bertanya kepada mama-mama yang bekerja sebagai tenaga kebersihan di pantai itu, kami mendapat info bahwa Pasar Malam Areira Branca itu hanya diadakan seminggu sekali, pada tiap Jumat malam. Jadi Sabtu malam ini tidak ada lagi pasar malam... tambah kecewa deh kami... Dan bentuk2 anyaman yang unik2 itu hanya didapatkan dari pengrajin dari Komoro yang letaknya cukup jauh dari sini, jadi mustahil kami bisa kesana untuk membeli oleh2 tambahan...

muda mudi Timor Leste sedang berdansa dan belajar menari bersama di gazebo yang ada di Areira Branca
Akhirnya, kami memutuskan kembali ke Komoro karena Desy dan Suster sudah berjanji akan pulang sore hari ke rumah Suster untuk bertemu kangen dengan keluarga Suster.... Sambil lewat, kami singgah di depan Istana Presiden Timor Leste dan berfoto sejenak, tidak ada pengawalan ketat dan garang ala Paspampres seperti di Istana Negara Indonesia. Bahkan ada banyak anak2 muda yang nongkrong sambil main internet melalui fasilitas WiFi yang ada di saung di halaman Istana Kepresidenan ini...

di depan istana Presiden Timor Leste
 Perjalanan kami lanjutkan ke Komoro, dan sesampai disana, kami disambut ramah oleh keluarga Suster dan setelah bercerita sana sini, kami kembali ke kota untuk mengantar kembali suster ke biaranya. Kami menaiki taxi dan lewat di mall yang baru dibangun dan rencananya akan diresmikan Oktober 2011 ini...
Timor Plaza - mall pertama dan satu2nya yg sudah berdiri di Dili

Sesampai di kota, kami mampir di toko yang menjual kaos oleh2 dari Dili, dekat pasar Colmera, toko ini berada 50 meter dari perempatan Colmera. Sebuah toko buku yang menjual aneka majalah dan dikelola orang Chinese. Desy membeli 3 kaos oblong dengan harga USD 12/buah. Saya karena bokek, lagi2 terpaksa mengurungkan niat untuk membelinya. Kaos2nya cukup menarik dan bahannya lebih bagus daripada yang dijual di pasar Tais. Dari situ kami menuju biara, dan berpisah dengan Suster. Selanjutnya saya dan Desy menuju ke pantai Kelapa untuk menikmati suasana nongkrong di Dili...

Benar saja, sesampai kami disana, jalanan mulai padat karena banyak sekali warga Dili yang nongkrong dan makan2 bersama keluarga dan sahabat mereka di sini. Sepanjang jalan Pantai Kelapa ini banyak penjual aneka seafood dan masakan babi plus minuman yang menjajakan makanannya ala kaki lima. Harganya boleh dibilang standar untuk ukuran Dili, tapi cukup mahal untuk kantong Indonesia. Dua ekor cumi panggang dihargai USD 3 dan sebuah ketupat 25 centavos. Seekor ikan bakar dihargai mulai dari USD 2 (yang kecil) sampai yang agak mahal. Ada juga yang menjual ayam bakar dsb...Saya makan seeekor ikan bakar ukuran sedang dan satu buah ketupat - USD 3,25


berbagai jenis makanan laut yang dijual di sepanjang pantai Kelapadi malam hari

 Karena malam semakin larut dan banyak orang berdatangan, kami merasa tidak enak nongkrong lama2 karena banyak orang yang ingin makan juga. Akhirnya selesai makan kami jalan2 sepanjang pantai ini dan foto2 seputar suasana malam di Dili.

Pulangnya, saya dan Desy naik taksi dan Desy mendrop saya di rumah om Abetuu dan dia pulang ke Komoro. Kami berjanji bertemu esok hari di Pool Timor Travel untuk kembali ke Indonesia bersama-sama... Ongkos taxi USD 5 karena harus ke 2 tujuan. Ternyata sesampai saya di rumah, listrik sedang padam dan mama Abetuu sedang duduk2 di teras bersama anak2nya. Saya ikut nimbrung dan malam itu mereka menceritakan betapa sulitnya kehidupan di Timor Leste dengan harga-harga yang serba mahal... Pantesan personel2 UN dan NGO disini gajinya luar biasa tinggi, karena biaya hidup disini sangat amat mahal. Kamar kos basic ukuran 2,5 x 2,5 meter yang disewakan keluarga Abetuu saja dihargai Rp 600ribu/bulan - itu pun kebanyakan dihuni mahasiswa dari kampung2 yang ingin kuliah di Dili. Keluarga Abetuu merasa kasihan dengan mereka sehingga memberikan harga kos2an semurah itu. Sementara kamar2 yang disewakan untuk staff NGO dan UN harganya mulai dari Rp 4 juta/bulan. Di Jakarta harga segini sudah dapat apartemen fully furnished kali....Begitu listrik sudah menyala, saya permisi untuk tidur duluan karena ingin bangun pagi2 mengejar misa paling pagi (kalau sempat ikut)

Hari 4
Pagi pun tiba, saya mandi dan berkemas karena jam 8 harus sudah di kantor Timor Travel. Pagi itu, saya disuguhi 2 buah Paun khas Dili yang sangat terkenal (katanya, semakin lama disimpan semakin enak rasanya) dan segelas teh manis hangat...Mama Abetu memang luar biasa ramah.
paun Dili yang enak untuk sarapan

Sehabis mengisi perut, saya pamit sebentar untuk ke Katedral untuk memfoto bagian dalam interior gereja. Pada waktu kunjungan saya dan Desy kemarin belum sempat karena sedang diadakan Misa Requim untuk pelepasan jenazah seorang pejabat Kementrian Kesehatan Timor Leste.
Saya bergegas masuk ke gerbang, foto2 interior dalam gereja sebelum banyak jemaat masuk dan ibadah  dimulai. Ibadah dimulai jam 8 tepat, namun jam 7 sudah mulai banyak orang berdatangan...
cantiknya interior dalam Katedral Dili

Karena ada tangga menuju lantai 2, saya menaikinya dan menuju ke balkon dimana pemandangan matahari terbit di pagi hari sangat luar biasa...Saya menikmati suasana yang damai disana.

matahari terbit dari balkon Katedral Dili  (patung Maria -kiri dan Patung Yusuf- kanan)

sekeluarga sedang berdoa sebelum misa

Setelah mengambil ransel saya dari kamar, saya berpisah dengan keluarga Abetu dan menaiki taksi yang kebetulan lewat di depan rumah menuju ke kantor Timor Travel. Naik taxi seharga USD 1.
Ternyata sesampai disana, Desy belum datang, dia masih dalam perjalanan dengan motor diantar oleh anggota keluarga Suster. Saya membayarkan harga tiket saya dan Desy masing2 USD 20/orang.

Sambil menunggu saya akhirnya membeli Sagiko 1 rak (USD 12 isi 24 kaleng) untuk oleh2 buat tetangga dan teman2 kantor. Apa itu Sagiko? Sagiko adalah merk minuman kaleng yang isinya adalah sari buah asli/juice. Mirip dengan Minute Maid Pulpy karena banyak serpihan2 buah2annya. Sagiko biasanya dijadikan oleh2 oleh orang2 yang pulang dari Timor Leste, padahal ini minuman kaleng buatan Singapura lho... aneh kan?

Iseng2 saya memperhatikan penjual ikan yang sedang bertransaksi di depan saya dengan seorang ibu. 1 ikat ikan yang terdiri dari 2 ekor seharga USD 2, mahal bener ya...pantesan benar penuturan mama Abetu semalam, gaji 10 juta alias USD 1000 tidak cukup untuk hidup sekeluarga di Timor Leste, itu hanya cukup untuk biaya makan sebulan untuk keluarga beranggotakan 5 orang. Kasihan ya nasib warga Timor Leste dengan semua harga bahan pangan yang ukuran harga bule ini...


 Jam 8. 20 (telat 20 menit) dari perkiraan keberangkatan, minibus yang membawa kami berangkat, kami kedapatan barisan bangku bagian belakang bersama seorang perempuan yang ternyata seorang staff NGO internasional yang ingin pulang liburan ke Kupang :)
Kami asyik bercerita tentang kerjaan masing2, dan bertukaran no hp. Di tengah jalan ban bus kami pecah, saya dan Desy segera mengambil kesempatan ini untuk foto2. Kebetulan kami dekat dengan sebuah bukit pasir yang ada di pinggir laut...beberapa foto2 cantik kami abadikan dengan kamera kami...
Sekitar jam 12 kami sampai di perbatasan Batugade dan kembali harus menunjukkan paspor dan barang2 kami digeledah oleh petugas perbatasan Timor Leste. Selang 20 menit kami selesai berurusan dengan pihak imigrasi di kedua belah negara. Akhirnya saya kembali ke sisi Indonesia dan di Mota Ain melapor diri dengan paspor juga. Jam 1 kami tiba di Atambua dan makan siang di sebuah rumah makan Padang,  dan jam 7 malam kami tiba di Kupang dengan diantar ke tujuan kami masing2...
Demikianlah kisah kami menjelajahi Dili dalam kurang lebih 3 hari :)

Foto2 lebih lengkap bisa dilihat di halaman FB saya : Album Memoravel Dili
https://www.facebook.com/media/set/?set=a.2356077774322.129337.1021538688&type=3

Keluar uang selama di Dili :
Tiket Timor Travel Kupang - Dili : Rp 185.000,-
Tiket Timor Travel Dili - Kupang : USD 20
Visa RDTL 30 hari : USD 30
Makan minum : USD 16 + air mineral 25 centavos/botol
Oleh2 : USD 42 (jangan ditiru nih, kebanyakan belanjanya...hehehe)
Taxi all : USD 21,5
Ongkos bemo all : USD  1 dan 25 centavos
Pulsa + SIM card Timor Telecom : USD 7


Labels: , , , , , , ,